Senja Surakarta

senja surakarta

Modernis.co – Surakarta – Huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, kalimat membentuk paragraph dari paragraph kita temukan berbagai macam makna dan pesan yang tersirat didalamnya. Empat bintang layaknya lembaran tissu selalu mengiringi tangisnya saat malam tiba.

Bintang tak pernah bosan hadir meski terkadang keberadaanya diabaikan. Coretan bulu bertinta membekas didalam hatinya, dan bintangpun selalu terlintas dalam benaknya.

Benar, waktunya telah tiba pada saat fajar menyingsing dari ufuk timur dan tengelam di sebelah barat. Matahari akan bersinar hanya pada dunia orang merdeka yang tidak mengenal tuan kecuali akal budinya.

Malam yang panjang remang-remang, bisikan angin menyapa dalam gulita, tentram, sunyi, sepi, sendiri dan diam.  Tiyo teringat akan pesan diamana ia harus bangkit dan berjuang keluar dari zona nyaman.

Bahwasanya Tiyo harus melawan egonya agar dapat mencari dan menemui dunia baru. Mencari kebenaran adalah pesan untuk Tiyo yang harus ditempuh dan dipelajarinya agar dia tahu apa yang belum ia ketahui.

Cinta merupakan kata sifat dimana kata tersebut memiliki makna tersendiri dan maknanya sangat radikal. Cinta menurut Tiyo adalah proses untuk menuju kebahagiaan. Cinta itu mendamaikan, menyatukan dan pada hakikatnya dengan cinta itulah seseorang dapat mencapai kebahagiaan.

Empedocles mengatakan bahwa cinta itu menyatukan sedang benci itu memisahkan.  Keduanya diibaratkan layaknya sebuah cairan, jika cairan-cairan cinta bersatu maka akan terbentuklah sebuah benda. Namun, jika benda tersebut di resapi oleh cairan-cairan benci maka benda itu akan terurai sebagaimana sebelumnya.

Keduanya akan menciptakan keharmonisan jika cinta dan benci berada dalam kadar dan ukuran yang sama. Artinya, Tiyo sadar bahwa cinta tak harus kecewa, pertemuan dan perpisahan cukup menjadi tamparan dan renungan setiap malam nantinya.

Tiyo harus mampu menerima keadaan meski dengan tangisan dan adakalanya dalam proses mencapai cinta itu badai benci menghadang dan menyebabkan kerinduan yang menyakitkan.

Tiyo asalnya skeptis dengan kata cinta itu sendiri. Namun, Tiyo percaya bahwa akan ada hal terindah dari pencapaian cinta tersebut. Tiyo merasa bahwa dalam berjuang adakalanya  harus menepi sejenak. Berfikir secara radikal dan rasional apakah yakin Tiyo akan sanggup berjuang sendiri.

Tentu saja Tiyo belum bisa melakukan hal demikian, Tiyo masih membutuhkan ruang dan wadah, lantai dan dinding serta waktu dan hukum alam. Tiyo juga menyadari bahwa dalam hidup segala sesuatu adalah sementara. Yang pernah menjadi teman dekatnya akan menjadi teman dekat orang lain.

Yang pernah menjadi partner kerjanya akan menjadi partner kerja orang lain. Orang tua dan sahabat akan terpisah oleh usia. Tiyo mempercayai adanya hukum kausalitas (sebab-akibat) bahwa adanya perpisahan disebebkan adanya pertemuan. Tiyo telah berkali-kali kehilangan sosok-sosok dalam hidupnya.

Kesendirian mengajarkannya satu hal, Perubahan (seperti yang Heraklitus katakan) adalah hal yang mutlak terjadi jika hidup ingin terus berjalan dan berkembang. Kehilangan merupakan bagian dari perubahan itu sendiri. Setiap perubahan harus dinikmati dan di syukuri, sehingga siapapun yang datang bisa Tiyo sambut dan siapapun yang pergi Tiyo bebaskan.

Karena Tiyo adalah tuan bagi dirinya sendiri, dan sisanya adalah tamu-tamu yang tak bisa Tiyo paksa untuk tinggal. Hingga pada akhirnya Tiyo harus menerimanya dengan lapang dada akan semua itu.

Penjara intelektual adalah tempat diamana Tiyo mulai menggoreskan tinta itu dalam hidupnya dimana tempat itu merupakan suatu keadaan yang sangat menggentarkan hati namun terkesan sangat indah. Penjara ini dihuni oleh sekitar tiga puluh tujuh insan dimana diantaranya ada yang meninggalkan tempat ini sebelum waktunya dan ada pula yang hanya sekedar singgah namun tak sungguh.

Penjara ini memiliki baret berwarna merah merona dihiasi dengan empat bintang dan dilengkapi bulu bertinta yang mungil sebagaimana keadaan untuk mendapatkan baret tersebut tidaklah mudah melainkan membutuhkan proses yang sangat lama sehingga barangsiapa yang bisa mendapatkannya adalah ia yang bersungguh-sungguh dalam berjuang.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari demi hari yang telah Tiyo jalani merupakan awal baginya apakah ia mampu konsisten pasca keluar dari penjara itu ataukah ia hanya akan stagnan dalam posisinya tanpa ada perubahan apapun.

Tiga ratus delapan puluh empat jam merupakan waktu yang tidak sedikit dan pasca keluar dari penjara adalah bagaimana caranya bagi Tiyo untuk dapat merealisasikan apa yang telah didapatkannya sehingga menjadi habits bagi dirinya dan dapat memotivasi orang lain. Namun, pada akhirnya mau tidak mau Tiyo harus melaksanakannya.

Tiyo percaya bahwa dirinya mampu dan siap atas segala hal meski banyak batu kerikil yang harus ia pijaki. Tiyo sadar dengan batu kerikil tersebut dirinya dapat lebih belajar lagi. Belajar di bawah tuntutan merupakan hal yang tidak biasa bagi Tiyo. Namun, mulai saat ini harus dibiasakan begitu.

Yang sebenarnya Tiyo pikirkan adalah jika belajar dibawah tuntutan ini akan mengurangi keikhlasannya dalam belajar. Ia merasa dirinya sangat tertekan akan hal tersebut.

Adakalanya langit biru berubah menjadi jingga seolah menertawakan Tiyo yang sedang gelisah akan kebingungan dirinya sendiri. Jingga adalah warna yang elok dan menggemaskan, namun bagi Tiyo kehadirannya kurang tepat dengan keadaan yang dialaminya. Jingga dilangit biru Surakarta memang sangat indah namun terkesan menyakitkan.

Dengan diamnya yang anggun dan rupawan membuat orang terpana melihatnya. Tiyo percaya bahwa dibalik jingga itu ada pesan tersirat untuknya. Semua keputusan ada ditangan Tiyo yang mempunyai kehendak atas dirinya dan merupakan motivatior terbesar bagi dirinya sendiri.

Tiyo yakin bahwa segala sesuatu yang dialaminya merupakan scenario terindah dari Dia yang kekal dan abad. Tiyo hanya tinggal berusaha agar dapat mencapai apa yang ia cita-citakan.

Senja diatas Ramayana telah memberikan banyak sekali pelajaran hidup. Canda tawa dan semua rasa beradu menjadi satu. Tiyo berpikir bahwa semua ini belum ada apa-apanya sedangkan senja pergi lebih dulu. Tiyo tidak menginginkan hal demikian namun hidup seringkali tak sejalan.

Beberapa rasa belum terselesaikan, beberapa rindu masih terabaikan dan beberapa rahasia belum sempat diceritakan. Tiyo tahu dan yakin bahwa dirinya adalah seorang pemimpi yang hebat bahkan lebih hebat lagi.

Untuk mencapainya ia harus terbangun dari tidurnya dan mengejar dengan segenap pengetahuan yang ia miliki serta meraihnya dengan penuh kesungguhan meski nanti senja itu tak lagi menjadi bagian dari mimpinya.

Tiyo menyadari bahwa dirinya tak akan mampu menggapai senja itu. Namun, Tiyo berterimakasih padanya karena telah bersedia mengisi beberapa saat dari dua puluh empat jam setiap harinya. Meski itu hanya sebentar akan tetapi Tiyo tetap bersyukur. Karena sejatinya tahap paling tinggi dari mencintai adalah belajar untuk merelakan.

Senja hadir menyadarkan Tiyo bahwa sebenarnya ia adalah seorang pecinta bukan hanya sekedar penikmat senja. Karena sesuatu yang nikmat itu sifatnya sementara sedangkan pecinta itu akan tetap merasakan kahadiran meski senja itu tak lagi ada. Dan menurut Tiyo kesunyian adalah teman terindah untuk saat itu.

Tiyo adalah nama panggilan untuk mojang priangan yang masih membingungkan dirinya sendiri dan belum menentukan arah dari tujuan hidupnya namun ia terus berusaha mencarinya dan  percaya bahwa scenario yang dibuat oleh Dia itu indah. Tiyo adalah seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang fakultas Agama Islam. Tiyo berpesan bahwa keberuntungan hanya untuk sang pemberani. 

Oleh : Athiyah Laila Hijriyah (Kader PC IMM Malang Raya)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment